Pertimbangan Penentuan Zona Waktu Versi Lapan
Sebelumnya, pemerintah rencanakan penyatuan zona waktu pada 28 Oktober.
Jum'at, 5 Oktober 2012, 05:09
Bayu Galih, Amal Nur Ngazis
VIVAnews
- Kabar penyatuan zona waktu kembali menghangat. Beberapa bulan lalu,
pemerintah mencanangkan penyatuan zona waktu Indonesia akan dimulai pada
28 Oktober nanti. Namun ternyata pencanangan tersebut ditunda.
"Kalau informasi dari (Menteri Koordinasi bidang Perekonomian) Hatta Rajasa menyatakan membatalkan pencanangan tanggal 28 Oktober itu, karena masalah sosialisasi yang belum dilakukan. Tapi apakah itu dibatalkan atau ditunda, itu saya belum tahu," ujar profesor riset Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, saat dihubungi VIVAnews, Kamis malam, 4 Oktober 2012.
Di luar pencanangan penyatuan zona waktu tersebut, Thomas berpendapat jika Indonesia menginginkan penyatuan zona waktu dengan jam kerja yang disamakan, menurutnya akan menimbulkan inefisiensi. Sebab kegiatan manusia, menurutnya, tergantung pada terbit dan terbenamnya matahari.
"Pilihannya dua, pilih pola negara yang jam kerjanya sama, zona waktu dibedakan, atau pola China dengan zona waktu sama, tapi jam kerja
berbeda," katanya.
Ia mengatakan secara garis besar, dasar zona waktu didasarkan atas dua hal yakni berdasarkan efisiensi dan atas dasat pertimbangan politik. China, kata Thomas menetapkan satu zona waktu karena pertimbangan politik, sementara Amerika Serikat, Australia dan Rusia menggunakan pembagian zona waktu.
Thomas melanjutkan bahwa praktek pembagian zona yang dijalankan di Indonesia saat ini sebenarnya mirip dengan China. Namun, perbedaaannya masing-masing zona menggunakan waktu sendiri yang berbeda.
"Cara China sebenarnya sudah dipraktekkan disini, tapi bukan persis sama. Kalau ala China, satu zona maka jam kerja misalnya di Papua mulai pukul 7, Makassar pukul 8, dan di Jawa pukul 9," katanya.
Sedangkan jika menganut pola Amerika Serikat, tambahnya, seperti saat ini, semua jam kerja disamakan total mulai jam 8. "Perbedaaannya, hanya zona yang dibedakan," ucap Thomas.
Jika benar-benar mengikuti pola China menurut Thomas, masyarakat akan mengalami kebingunan, karena jam kerja mulainya tidak bersamaan.
"Itu malah tidak efisien, karena mengubah konversi waktu. Malah menimbulkan kebingungan, misalnya Subuh di Jawa bisa mulainya setengah enam pagi," ujarnya. (sj)
"Kalau informasi dari (Menteri Koordinasi bidang Perekonomian) Hatta Rajasa menyatakan membatalkan pencanangan tanggal 28 Oktober itu, karena masalah sosialisasi yang belum dilakukan. Tapi apakah itu dibatalkan atau ditunda, itu saya belum tahu," ujar profesor riset Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, saat dihubungi VIVAnews, Kamis malam, 4 Oktober 2012.
Di luar pencanangan penyatuan zona waktu tersebut, Thomas berpendapat jika Indonesia menginginkan penyatuan zona waktu dengan jam kerja yang disamakan, menurutnya akan menimbulkan inefisiensi. Sebab kegiatan manusia, menurutnya, tergantung pada terbit dan terbenamnya matahari.
"Pilihannya dua, pilih pola negara yang jam kerjanya sama, zona waktu dibedakan, atau pola China dengan zona waktu sama, tapi jam kerja
berbeda," katanya.
Ia mengatakan secara garis besar, dasar zona waktu didasarkan atas dua hal yakni berdasarkan efisiensi dan atas dasat pertimbangan politik. China, kata Thomas menetapkan satu zona waktu karena pertimbangan politik, sementara Amerika Serikat, Australia dan Rusia menggunakan pembagian zona waktu.
Thomas melanjutkan bahwa praktek pembagian zona yang dijalankan di Indonesia saat ini sebenarnya mirip dengan China. Namun, perbedaaannya masing-masing zona menggunakan waktu sendiri yang berbeda.
"Cara China sebenarnya sudah dipraktekkan disini, tapi bukan persis sama. Kalau ala China, satu zona maka jam kerja misalnya di Papua mulai pukul 7, Makassar pukul 8, dan di Jawa pukul 9," katanya.
Sedangkan jika menganut pola Amerika Serikat, tambahnya, seperti saat ini, semua jam kerja disamakan total mulai jam 8. "Perbedaaannya, hanya zona yang dibedakan," ucap Thomas.
Jika benar-benar mengikuti pola China menurut Thomas, masyarakat akan mengalami kebingunan, karena jam kerja mulainya tidak bersamaan.
"Itu malah tidak efisien, karena mengubah konversi waktu. Malah menimbulkan kebingungan, misalnya Subuh di Jawa bisa mulainya setengah enam pagi," ujarnya. (sj)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar